Powered By Blogger

Total Tayangan Laman saya

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Senin, 07 Juli 2014

Keberanian Louis van Gaal Beradu Cojones

thumbnail

Jakarta - Jika Louis van Gaal dibawa ke psikiater dan diperiksa kondisi kejiwaannya, kecil kemungkinan hasilnya akan menunjukkan bahwa ia normal.

Wajah Van Gaal mungkin terlihat seperti burung betet (beberapa orang lagi menganggapnya mirip Tweety yang kebanyakan makan), tapi Van Gaal memiliki kepribadian seperti burung elang yang terbang sendiri dan tak suka diganggu.

Van Gaal adalah orang yang pernah menurunkan celananya di depan para pemain Bayern Munich untuk memperlihatkan bahwa dia berani untuk mendepak pemain yang tidak bermain prima dari tim utama.Cojones, kalau kata penutur Bahasa Spanyol.

Dia juga adalah orang yang sama yang ketika menjadi pelatih Barcelona menjadikan wartawan sebagai sansak hidup verbal dalam setiap konferensi pers dan kerap mengejek mereka. Ia tidak segan untuk mencari gara-gara dengan siapa pun yang berusaha menggerus wibawanya. Van Gaal telah menjadi Mourinho sebelum Jose Mourinho menjadi Mourinho.

Dalam beberapa hari terakhir, kenangan Van Gaal sebagai seorang ahli strategi yang jenius di lapangan sepakbola kembali mengapung ke permukaan setelah keputusan beraninya memasukkan Tim Krul menggantikan Jasper Cillessen untuk adu penalti terbukti ampuh meloloskan Belanda ke semifinal. Munculnya generasi pelatih yang lebih muda dengan kepribadian yang kuat seperti Mourinho dan Jurgen Klopp relatif membuat banyak orang sebelumnya lupa dengan keberadaan Van Gaal sebagai pelatih brilian. Piala Dunia kali ini mengingatkan publik sepakbola mengenai apa yang luput dari memori mereka selama ini.

Sebenarnya jika dicermati, secara taktik pergantian kiper yang dilakukan Van Gaal cenderung dibesar-besarkan. Jangan salah, keputusan tersebut tetap brilian, namun mengingat bahwa Krul telah diberitahu dan berlatih sebelumnya, plus fakta bahwa postur badan Krul lebih tinggi dan besar dari Cilessen sehingga membuatnya terlihat lebih aman di bawah mistar gawang saat adu penalti, apa yang dilakukan oleh Van Gaal sebenarnya biasa saja.



Van Gaal bukan pelatih pertama yang melakukan keputusan demikian. Martin O'Neill memasukkan Zeljko Kalac yang lebih tinggi untuk mengganti Kevin Poole di bawah mistar gawang Leicester City pada playoff First Division tahun 1996. Alberto Zaccheroni juga mengganti Jens Lehman yang memberikan penalti kepada Cagliari pada tahun 1998 setelah kiper Jerman tersebut melanggar Roberto Muzzi. Sebastiano Rossi yang masuk sebagai pengganti sukses menepis penalti Muzzi.

Yang lebih menonjol dari keputusan Van Gaal tersebut adalah keberaniannya. Bisa dibayangkan seandainya Tim Krul gagal menahan penalti Kosta Rika dan Belanda gagal menang, maka Van Gaal akan habis disalib oleh media-media di seluruh dunia. Namun seperti yang ia tunjukkan di ruang ganti Bayern Munich, Van Gaal punya "balls" yang cukup besar untuk mengambil risiko itu.

Sebagai seseorang yang gemar perang urat syaraf, memasukkan Krul selain sebuah taktik teknis, juga mengandung nilai serangan psikologis. Para pemain Kosta Rika tentu melihat bagaimana seorang kiper baru dimasukkan khusus untuk adu penalti dan menimbulkan impresi bahwa kiper baru ini adalah seorang spesialis penepis penalti. Ini menimbulkan tekanan baru kepada para pemain Kosta Rika.

Efek tekanan ini sebenarnya juga berdampak kepada Krul, karena dengan dimasukkannya dirinya, berarti ia diharapkan untuk menepis penalti. Ini situasi yang tidak lazim bagi penjaga gawang, karena yang disalahkan dalam adu penalti adalah penendang jika eksekusinya tidak masuk. Kiper tidak pernah disalahkan jika gagal menepis penalti.

Yang paling sinting dari eksperimen ini adalah bahwa Krul sebenarnya bukan spesialis penepis penalti. Ia hanya pernah 2 kali menepis penalti bagi Newcastle United. Tapi ketika Van Gaal menghendaki demikian, tidak ada yang bisa membantah.

Ini bukan pertama kalinya kita melihat keberanian Van Gaal di Piala Dunia kali ini. Tekanan terhadap dirinya besar sejak awal turnamen, apalagi waktu dulu ia menjadi pelatih Belanda pertama kali, tim Oranje gagal lolos ke Piala Dunia 2002. Tak ada harapan yang tinggi kepada Belanda sebenarnya kali ini. Tidak akan ada yang kaget seandainya Belanda gagal lolos dari babak penyisihan grup. Tapi yang terjadi adalah Van Gaal mengeluarkan kabut gaib berwarna jingga yang menyelimuti Piala Dunia.

Van Gaal menerapkan pressing super tinggi ketika bertemu Spanyol di pertandingan pembuka yang membuat Bruno Martins Indi dan Stefan de Vrij sering kali melewati garis tengah lapangan untuk mengikuti para gelandang Spanyol. Ini tampak seperti sebuah taktik bunuh diri, namun keberanian Van Gaal terbayar lunas.

Van Gaal juga tak peduli dengan stigma Total Football dan tuntutan untuk bermain indah. Yang ia peduli adalah bagaimana meraih kemenangan. Mungkin tak akan pernah terpikir untuk melihat Belanda bermain dengan formasi 5-3-2 tetapi Van Gaal tak peduli. Ia tahu betul bahwa ia memiliki pemain kelas dunia dalam diri Robin van Persie dan Arjen Robben, namun sisanya bukan pemain bintang lima termasuk Wesley Sneijder yang tak lagi sama dengan dirinya 4 tahun silam. Ia tak punya sumber daya yang cukup untuk bermain indah.

Sejak dulu Van Gaal benci dengan kekalahan. Ketika di Barcelona, dirinya pernah marah-marah karena kalah di pertandingan Copa Catalunya -- sebuah partai persahabatan. Usai pertandingan ia memaki Albert Celades, Oscar Garcia, dan Roger Garcia sebagai pemain yang bahkan tak layak untuk memperkuat Barcelona B.

Sebelum Piala Dunia dimulai, Van Gaal datang ke Rotterdam untuk menyaksikan pertandingan Feyenoord bersama dengan Van Persie. Van Gaal dituduh oleh media Belanda menunjukkan favoritisme dengan terlihat di publik dengan pemain tertentu. Van Gaal berkilah bahwa wajar jika dirinya melakukan scouting dan berdiskusi dengan kapten tim nasionalnya. Tiga orang pemain Feyenoord pun menjadi tulang punggung lini belakang Belanda sebagai hasilnya: De Vrij, Martins Indi, dan Daryl Janmaat.

Walau begitu, tidak ada pemain yang aman posisinya dalam skuat Van Gaal termasuk Van Persie sekalipun. Ketika Belanda di pinggir jurang eliminasi di perdelapanfinal, Van Gaal menarik Van Persie dan memasukkan Klaas Jan Huntelaar yang menciptakan 1 gol dan 1 assist dan membawa Belanda melaju.



Sesungguhnya apa yang kita lihat selama ini di Piala Dunia dari tim Belanda adalah sebuah peragaan keberanian dari Van Gaal sebagai pelatih. Berulang kali Van Gaal mengajak lawannya untuk adu memelorotkan celana untuk melihat punya siapa yang lebih besar dan berulang kali juga Van Gaal menang.

Dalam partai semifinal melawan Argentina di Sao Paulo, hanya pelatih Argentina, Alejandro Sabella, yang memisahkan Van Gaal dengan final di Maracana. Van Gaal sudah melakukan semua di Piala Dunia ini dari bermain pragmatis, mengganti formasi dengan dramatis, hingga memasukkan kiper spesialis penalti. 

Sabella tak kalah pragmatisnya dengan Van Gaal di lapangan dan di Arena Corinthians nanti, kedua pelatih ini akan saling beradu siapa yang punya cojones yang lebih besar.

1 komentar:

 

Blogger news

Blogroll

About